Tidak Bolehkah Orang Miskin Sakit?


Tidak Bolehkah Orang Miskin Sakit?

Penulis: Oleh : Yersita
edisi: 10/Mar/2010 wib
Pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas setelah pendidikan. Karena jika pelayanan kesehatan masih dipandang pemerintah, baik pusat maupun daerah sebagai program yang membuang anggaran, selama itu pula masyarakat kita akan selalu rentan terhadap ancaman berbagai penyakit dan kasus-kasus rakyat miskin yang ditolak pihak rumah sakit, ditelantarkan akan selalu hadir di hadapan kita
ASWANAH(50) warga Tangerang yang menderita luka pada matanya akibat kemasukan benda tumpul terpaksa harus menunggu karena tidak mampu membayar biaya pengobatan yang telah ditentukan oleh rumah sakit sebesar Rp. 10 juta. Padahal saat itu, ia membawa Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Begitu juga dengan Asmiah (52), ia terpaksa harus bersabar menahan rasa sakit akibat tumor yang semakin membesar.

Tumor itu telah bercokol di perutnya sejak enam tahun silam. Bermodal SKTM, Asmiah berharap mendapat bantuan pengobatan dari pemerintah.

Namun, keruwetan birokrasi memaksanya menyerah mendapatkan bantuan. Apalagi sebagai warga miskin, Asmiah tidak memegang kartu Jamkesmas sehingga ia hanya mengharapkan uang dari langit (Kompas, 8/2/2010).

Sama halnya dengan nasib penderita tumor payudara, Sri Dewi Minanti. Warga kecamatan Tamansari itu hanya mengharapkan uluran tangan dari para dermawan untuk kesembuhannya.

Tak jauh beda dengan Aura, penderita hydrocephalus yang kini mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Berbekal uang seadanya dan tunjangan dari Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), orang tua Aura berangkat ke Jakarta untuk mengobati anaknya.

Bayangkan mereka yang harus bolak-balik ke rumah sakit, belum lagi proses pengobatan yang tertunda lantaran biaya. Tertundanya pengobatan Aura mengakibatkan cairan makin menumpuk, membuat kepala Aura terus membesar. Hal inipun dialami Laila Najmi (4 bulan) penderita hydrochepalus seperti Aura. Ia terpaksa harus antri dioperasi selama satu bulan di RSCM (Bangkapos, 20/2/2010).

Beberapa kasus di atas merupakan potret betapa sulitnya rakyat miskin mendapatkan pengobatan saat mereka sakit. Seringkali kita mendengarkan kasus rakyat miskin yang harus berurusan dengan birokrasi rumah sakit. Dipersulit karena tidak mampu membayar uang muka, tidak memiliki jamkesmas/jamkesda. Bahkan ditolak pihak rumah sakit karena belum mengurus adminstrasi.

Dalam kondisi hampir sekarat, berkubang dengan rasa sakit yang semakin hari semakin mendera, menyaksikan orang terdekatnya terkapar tak berdaya lantaran penyakit yang mengerogotinya. Dan ketika mereka datang ke rumah sakit untuk berobat serta berharap mendapatkan perawatan, mereka ditolak dengan alasan harus membayar uang muka atau tidak memiliki jamkesmas.

Bahkan dalam banyak kasus, meskipun memiliki Jamkesmas, mereka tetap harus membayar biaya pengobatan seperti yang dialami Aswanah. Sehingga muncul pertanyaan dari masyarakat, apakah fungsi Jamkesmas jika mereka tetap membayar? Dimanakah letak gratisnya? Mengapa pula banyak orang miskin yang tidak memiliki Jamkesmas seperti Asmiah?

Selain itu, pelayanan yang bernilai gratis seringkali berujung pada ketidakpuasan pasien atau keluarga pasien. Orang miskin yang menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/Askeskin untuk berobat terkadang ditelantarkan, dipandang sebelah mata, harus menunggu begitu lama mendapatkan pengobatan dan perawatan, dibiarkan tanpa diobati, mendapat perlakuan semena-mena dari pihak rumah sakit. Sehingga Hal ini memunculkan ungkapan satiris “orang miskin dilarang sakit”.

Tetapi mengapa orang miskin tidak boleh sakit? Bukankah mereka pun memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya?. Berhak mendapatkan jaminan kesehatan dan perlakuan yang sama seperti warga lain. Karena pelayanan kesehatan pada hakikatnya merupakan kebutuhan mendasar dari seluruh rakyat.

Seharusnya, kita mencontoh Negara Kuba dalam pelayanan kesehatan. Selain pendidikan, kesehatan menjadi titik berat dari pembangunan nasionalnya. Semua rakyat Kuba memperoleh fasilitas kesehatan gratis (kecuali orang asing yang harus membayar). Dan mereka pun mendapatkan perlakuan yang sama baiknya dengan orang asing yang membayar mahal.

Jangan Sekedar Polesan

Ketika pemerintah mencanangkan pengobatan gratis, bahkan mengelontorkan jaminan kesehatan bagi rakyat miskin. Harapannya, program tersebut bukan sekedar polesan semata. Begitu juga dengan pelaksanaannya, jangan terkesan setengah hati.

Beberapa kasus rakyat miskin yang sulit berobat ketika sakit, harus menjadi pelajaran agar ke depan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat terutama rakyat miskin harus ditingkatkan. Masyarakat harus diberitahu apa saja kriteria orang yang mendapatkan jamkesmas/jamkesda, sehingga pejabat yang berwenang mendata orang miskin ini tidak bisa bertindak semena-mena dengan memasukkan orang-orang terdekatnya saja.

Selain itu harus ada penjelasan ke masyarakat, obat apa saja yang dijamin oleh jamkesmas. Jadi, pihak rumah sakit tidak bisa berlaku sewenang-wenang kepada pasien miskin dengan menyuruh mereka membayar obat yang ketentuannya gratis. Ketika ada pelanggaran terhadap hak rakyat miskin, pemerintah harus segera bertindak tegas.

Begitu juga ketika pasien miskin membawa jamkesmas/jamkesda, pihak rumah sakit harus ditindak tegas jika menyuruh pasien membayar uang muka terlebih dahulu. Apalagi jika memperlakukan mereka dengan semena-mena atau ditelantarkan. Sehingga mutu pelayanan terhadap pasien miskin yang tidak membayar mutlak harus ditingkatkan.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah membentuk lembaga independen, yang menurut Kartono Muhammad, bertugas mengawasi mutu pelayanan kesehatan bagi pasien yang ditanggung oleh negara. Lembaga-lembaga pengawas mutu tersebut bukan saja dari pihak birokrat, tetapi juga tokoh profesi atau universitas serta wakil masyarakat pemakai jasa pelayanan (Kompas, 20/2/2010).

Jangan lagi mempersulit rakyat miskin ketika mereka berobat ke rumah sakit. Rakyat miskin yang selalu dijanjikan pengobatan gratis jangan terus dijadikan korban ketika mereka sakit. Pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas setelah pendidikan.

Karena jika pelayanan kesehatan masih dipandang pemerintah, baik pusat maupun daerah sebagai program yang membuang anggaran, selama itu pula masyarakat kita akan selalu rentan terhadap ancaman berbagai penyakit dan kasus-kasus rakyat miskin yang ditolak pihak rumah sakit, ditelantarkan akan selalu hadir di hadapan kita.(*)

http://cetak.bangkapos.com/opini/read/663.html

Tinggalkan komentar