kopiah Gus Dur (Terinspirasi kejadian nyata)


Preman di salah satu tempat perbelanjaan terkenal di Jakarta, Sitor Lubis atau yang akrab dipanggil si Jari Ajaib. Si Jari Ajaib lebih ringkasnya Jarib, orang yang tidak bisa berkata-kata sopan dan gemar memalak.

Ia sendiri yang menamakan dirinya demikian karena setiap benda yang dipegangnya, kadang-kadang hilang. Preman kelas teri, karena yang menjadi sasaran pelajar, ibu-ibu dan anak kecil.

Namun ketika ada calon korban yang berani berontak, Jarib langsung ambil langkah aman. Tubuhnya yang kecil salah satu faktornya.

Preman juga manusia yang punya hati. Diam-diam Jarib menaruh hati pada Manis, wanita penghibur di kampung tempat ia tinggal. Manis biasa membantu orang tuanya jualan warung makan kelas ekonomi. Orang tua Manis tidak mengetahui jika anaknya tiap malam melayani pria hidung belang usai membantu di warung. Jarib hanya bisa memandangi Manis dari jarak pandang normal.

Pekerjaan sampingan Jarib menjadi tukang parkir, sebuah toko buah di kawasan pusat perbelanjaan. Lebih tepatnya malak karena di ruko itu jelas ada papan areal parkir gratis. Namun Jarib melakukan manipulasi dengan menutupi tanda tersebut dengan mobil box salah satu toko di sana. Tentunya dengan kesepakatan mobil box free, non palak.

Suatu ketika sebuah mobil parkir agak tergesa-gesa. Seorang pria bertubuh tegak, turun langsung masuk toko tidak lebih dari 5 menit. Karena tergesa-gesa, pria ini langsung masuk mobil dan akan menancap gas, namun dengan sigap, Jarib meminta tagihan jasa parkir. Alangkah terkejutnya penumpang mobil itu, ternyata seorang idola yang selama ini ingin ditemui dan tidak mungkin ketemu, tapi Tuhan menemukan ia di tempat parkir.

Jadilah kelabakan Jarib yang tadinya kasar dengan menghentikan mobil yang akan lari. Gus Dur dengan kopiah khasnya menyapa preman kelas teri itu.

ono opo? katanya kalem.
“Oh enggak, Gus, katanya lupa bayar parkir”, jawab sopir (hal.47)

Jarib yang biasa berbohong waktu bertemu idolanya seakan ada kekuatan yang membuat ia berkata jujur bahwa parkirnya gratis. Gus Dur langsung menanyakan pada ajudan yang di belakang, punya uang berapa? Seratus ribu, uang itu diberikan kepada Jarib.

“Lha, sampeyan kalau parkir gratis, kenapa malak orang untuk parkir, hayo? Pasti butuh duit, kan?” tanya Gus Dur.(hal 49).

Mobil itu meninggalkan preman ini dengan ucapan salam Gus Dur dan dijawab oleh Jarib. Selain uang seratus ribu di tangan kanan, ia juga mendapatkan hadiah kopiah rajut cokelat khas Gus Dur. Kehidupan Jarib setelah bertemu dengan Gus Dur berubah 180 derajat. Kopiah idolanya tidak pernah lepas dari kepalanya. Nilai yang diajarkan Gus Dur terkait pluralisme dipegang teguh meskipun sebagai preman. Jarib mendirikan geng P, geng pluralisme yang dimatanya semua orang sama.

Suatu ketika ada umat kristiani yang didemo masyarakat sekitar karena tiap akhir pekan selalu menyebabkan macet. Umat kristiani melakukan ibadah di salahsatu toko karena gereja sedang dalam proses pembangunan, sehingga macet karena parkirnya selalu memakan badan jalan.

Jarib yang memimpin geng P menjadi pahlawan dengan meminta ijin kepada Abdullah, keturunan Arab yang punya lahan tidak jauh dari tempat ibadah. Akhirnya disepakati pembagian hasil parkir, solusi pun didapat. Jarib dan geng sekarang tidak lagi memalak namun menagih seikhlas yang punya mobil. Pergaulan Jarib meluas, ketika terjadi perebutan lahan dengan kelompok sebelah, Jarib lebih mengedepankan musyawarah bukan kekerasan layaknya preman.

Semua orang yang ditemui seakan mendapat kesan yang baik, bahkan dengan banci dan gelandangan pun Jarib memanusiakan mereka, menyontoh idolanya, Gus Dur. Jarib akhirnya menikah dengan Manis yang memiliki nama asli Lolita dan banyak lagi nama karena banyak pelanggan. Lolita dibebaskan dari pelanggan yang telah membelinya dari seorang “mami”.

Kehidupan mereka normal, namun ketika di akhir Desember 2009, hatinya tidak tenang seakan sesuatu peristiwa besar akan terjadi. Kegalauan hati Jarib terus terjadi hingga akhirnya dia menyalakan televisi dan berita duka Gus Dur berpulang ke rahmatullah pun muncul. Jarib mengalami kegoncangan jiwa karena meninggalnya Gus Dur diikuti dengan kopiah rajut itu. Jarib sadar kehidupan terus berputar dan hidup berarti menunggu antrian.

Novel ini sangat bagus dalam menyampaikan nilai pluralisme. Pluralisme yang ada di teori, dalam praktek tidak semua orang bisa, dan Jarib menjadi salah satu orang yang bisa. Novel ditulis dengan bahasa yang ringan dan hampir mirip dengan realita yang terjadi. Penulis tidak menyantumkan daftar isi novel ini yang terbagi menjadi 15 bab.

Semua itu tidak mengurangi esensi novel ini, yang wajib dibaca untuk pelajar, pekerja, preman dan lain-lain yang ingin memahami pluralisme secara sederhana.(KH)

Peresensi : Syamsud Dhuha
Judul : kopiah Gus Dur (Terinspirasi kejadian nyata)
Penulis : Damien dematra
Tebal :141 hal
Penerbit : Birde Publishing
Terbit : Desember 2010

2 Komentar (+add yours?)

  1. syadhu
    Des 26, 2014 @ 06:29:43

    kang dapat resensi ini dimana? ada link medianya? terima kasih

  2. Raka yusna Wiryawan
    Jan 05, 2015 @ 16:59:14

    ada kang saya dapet di NU online edisi nya sudah lama juga sihh

Tinggalkan komentar