“Penyelesaian Konflik Politik Harus Melalui Kompromi”


“Penyelesaian Konflik Politik Harus Melalui Kompromi”
25-6-2001 / 20:57 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid menyatakan bahwa konflik politik yang saat ini terjadi antara presiden dan DPR maupun antara presiden dan wakil presiden harus diselesaikan melalui kompromi. Alasannya, dalam demokrasi, semua konflik harus dicarikan solusinya melalui jalan kompromi. Nurcholis menyatakan itu kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam bedah buku “Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia” karangan Robert W Hefner di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (21/6).

Tampil sebagai pembicara lain dalam bedah buku tersebut Ulil Abshar Abdaila, Eggi Sudjana, serta Syaeful Mujani, dan dihadiri oleh ratusan peserta baik dalam maupun luar negeri.

Menurut Cak Nur, begitu Nurcholis akrab dipanggil, tidak semua kehendak kelompok-kelompok politik bisa diakomodasi 100 persen karena negara ini berisi masyarakat plural yang jumlahnya lebih dari 200 juta. Karena itu, kompromi politik dalam bentuk apapun harus dilakukan untuk menghindari absolutisme. Namun, ia sendiri belum mengetahui formula seperti apa yang sesuai dan bisa dijadikan solusi untuk menengahi konflik yang saat ini terjadi. “Yang jelas, melakukan perubahan secara fundamental menyangkut sistem politik dan bernegara kita. Kalau dulu Sukarno menjadi presiden dan Bung Hatta menjadi perdana menteri, sekarang terserah mau seperti apa.,” kata Cak Nur yang Kamis siang ini memakai batik coklat lengan pendek.

Sejarah politik Indonesia, kata Cak Nur, berulang kali terjadi inkonsistensi. Misalnya perubahan dalam sistem presidensial ke parlementer dan kembali lagi ke sistem presidensial pada masa Soeharto.

Menanggapi rencana sidang istimewa, Cak Nur mengatakan sangat menghargai peredaan ketegangan yang dilakukan oleh para anggota parlemen dengan tidak lagi mendesakkan keinginannya untuk mempercepat sidang istimewa. Dia juga menghargai pernyataan yang disampaikan Ketua MPR Amien Rais bahwa sidang istimewa tidak harus berujung pada tuntutan untuk memberhentikan kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Bahkan sangat mungkin yang terjadi adalah sebaliknya yakni dengan diterimanya pertanggungjawaban Gus Dur dan menguatnya kembali posisinya sebagai presiden. “Masalahnya saat ini ada pada Gus Dur sendiri. Mestinya dia tetap tenang, tidak perlu panik dan tetap percaya diri seperti biasanya,” ujar Cak Nur.

Selain itu, menurut Ketua Yayasan Badan Wakaf paramadina ini, yang diperlukan saat ini adalah Presiden bersama kabinetnya mengusahakan perbaikan-perbaikan substantif seperti tuntutan yang diajukan oleh DPR. “Yang jelas, konflik-koflik seperti ini harus diselesaikan sampai tahun 2001 saja. Sehingga tahun depan kita bisa mulai untuk melaksanakan pembangunan lagi,” kata Cak Nur. (Y. Tomy Aryanto)

Tinggalkan komentar