Mencintai Gus Dur dari Berbagai Arah


Gus Dur telah kembali ke Sang Pencipta; kematiannya ditangisi begitu banyak anak bangsa; kiriman duka mengalir dari berbagai penjuru negeri ini, juga dari berbagai negara lain. Begitu banyak pelayat dan peziarah, bahkan hingga hari ini.

Banyak orang yang begitu otomatis menetikkan air mata duka saat mendengar kabar kematiannya itu. Mereka, yang menangis, tidak hanya orang-orang terdekat; mereka orang-orang yang bahkan dalam hidupnya tidak pernah berinteraksi langsung atau tidak langsung dengannya. Mereka tetap menitikkan air mata. Mereka merasa Gus Dur adalah bagian dari hidup mereka; Gus Dur ada dalam kehidupan mereka; Gus Dur adalah orang terdekat mereka. Lalu, kematiannya mengundang air mata secara spontan. Kematiannya mengundang sendu pada wajah anak-anak negeri ini. Saya sendiri, sampai sekarang, masih saja tidak bisa menahan air mata jika melihat hal-hal yang berkaitan dengan Gus Dur.

Gus Dur memang dicintai dan dihormati dan dikagumi dari berbagai arah. Ada yang mencintai Gus Dur, menghormatinya, mengaguminya dari posisi sebagai keluarga. Ada yang mencintai, menghormati, mengagumi dari posisi sebagai anggota PKB. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sebagai nahdliyyin, warga NU. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sebagai warga Tionghoa, pemeluk agama dan kepercayaan minoritas yang tertindas. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sesama pejuang HAM dan demokrasi. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sebagai elemen gerakan keislaman moderat. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sebagai kolega politik. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi pejabat negara. Ada yang mencintai, menghormati dan mengagumi dari posisi sebagai “pengikut setia.” Mereka semua memiliki hak sama untuk mencintai, menghormati dan mengagumi Gus Dur; nilai kecintaan, penghormatan dan kekaguman mereka setara, baik yang melakukannya dari arah yang sangat personal, maupun yang non-personal.

Saya mendapat kesempatan dan pengalaman hidup untuk mencintai, menghormati dan mengagumi Gus Dur pada posisi antara personal dan “non personal.” Sekitar 5 tahunan, sejak Maret 2001, saya lumayan aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan PUAN Amal Hayati, sebuah lembaga perempuan yang didirikan dan dipimpin Ibu Sinta Nuriyah Gus Dur. Ini memberi saya kesempatan untuk bisa melihat Gus Dur dari dekat, lebih personal, tetapi tetap “profesional” karena Gus Dur tidak terlibat terlalu intensif dalam kegiatan-kegiatan PUAN Amal Hayati.

Awal-awal 2001 adalah ujung dari masa kepresidenan Gus Dur, dan ini memberi saya sebuah pengalaman dan pelajaran hidup yang unik. Saya masih sempat merasakan menjadi salah seorang warga negara yang bisa masuk istana dengan jeans dan sandal, meski mendapat omelan bertubi-tubi dari sang penjaga yang menganggap saya tidak menghargai istana. Saya tidak pernah tahu sebelumnya suasana istana masa Gus Dur, sehingga tidak pernah tahu harus bersikap atau berpakaian seperti apa untuk datang ke sana. Tetapi semangat kerakyatan Gus Dur, semangat “seadanya” ala Gus Dur, membuat orang kebiasaan seperti saya spontan saja datang ke istana juga dengan “seadanya.” Saya lalu sadar, hal-hal seperti ini justru penting untuk membangun kesadaran bagaimana memberi hormat dengan cara jujur.

Saya juga berkesempatan melihat Gus Dur bercelana pendek di istana saat menemui ribuan masyarakat yang mendukungnya saat terjadi impeachment. Dengan beberapa staf PUAN Amal Hayati, saya diundang mengaji dan berdoa, kebiasaan yang selalu dilakukan Ibu Sinta Nuriyah baik ketika sedang mendapatkan kebahagiaan maupun kesedihan. Di saat suasana begitu tegang karena krisis politik, Gus Dur justru tampil sebagai orang biasa, seseorang yang yang sangat santai. Ya, Gus Dur sekali lagi menunjukkan kepribidiannya sebagai orang biasa, benar-benar tidak seperti penguasa yang suka memakai baju zirah, menjaga citra kewibawaan. Gus Dur juga santai, bersikap sangat tenang, tidak merasa “terancam” ketika kursi kekuasaasaanya sedang direbut.

Saat awal-awal baru saja dilengserkan, saya lebih sering melihat Gus Dur. Ya, saya cuma melihat, mengamati Gus Dur atau sesekali mendengar suara Gus Dur. Jika sedang ada di Jakarta –Gus Dur sangat sering ke luar kota—setelah subuh, Gus Dur sangat rajin jogging, berjalan kaki bulak-balik di komplek al-Munawaroh, Ciganjur, di mana kantor PUAN yang sering saya inapi juga ada di sana. Gus Dur melakukan jogging tanpa dikawal, cuma paspampres yang sepertinya sudah lebih mirip seperti “banser” karena ketularan gaya Gus Dur. Di belakang dan di samping Gus Dur beberapa orang yang ingin bersilaturrahim, semua berbaur, yang bersorban, berjas, berjeans, bersarung, berkaos, dan lain-lain. Gus Dur menerima mereka dalam sikap yang sama.

Saat rumahnya masih direnovasi, setelah jogging Gus Dur beristirahat sejenak di sebuah ruang di PUAN Amal Hayati, mengeringkan keringat dan (terkadang) ke kamar mandi. Gus Dur juga menelpon ke sana ke mari, termasuk ke luar negeri, ke para tokoh dunia. Saya sempat mengalami kejadian yang sangat personal, kena marah Gus Dur gara-gara AC di ruangan tempat dirinya beristirahat itu rusak, bahkan, sudah tiga hari. Saya sendiri tidak tahu soal ini, karena saya tidak tinggal di kantor PUAN, hanya sesekali saja menginap. Gus Dur “mencari” orang yang perlu bertanggungjawab terhadap keadaan, dan karena hanya saya yang ada di sana, pada saat itu, maka saya “diminta” bertanggungjawab. Kata Gus Dur, “Kalau ikut saya, kalau ikut Ibu (Sinta Nuriyah), harus tokcer, gak boleh kampungan! Kalau tidak tokcer, saya usulin ke Ibu supaya kamu dipecat. AC harus secepatnya dibenerin!” (Padahal waktu itu, saya merasa jadi staf PUAN yang paling tokcer heee). Tentu, karena saya tidak merasa salah, saya tetap santai, sama seperti orang-orang, paspampres, ajudan, dan lain-lain yang cengar-cengir melihat saya kena omelan Gus Dur, pagi buta alias subuh-subuh baru saja sadar dari mimpi. Saya sempat dongkol gara-gara omelan itu, dan enggan bertemu Gus Dur (Maaf Gus Dur, saat itu, saya terlalu bodoh untuk mengambil hikmah). Tapi saya jadi merasa senang diomelin Gus Dur seperti itu; saya teringat Gus Dur yang suka ceplas-ceplos bilang mau mecat pejabat ini atau jenderal itu…. Gus Dur ngomel dengan cara yang sama, baik pada pejabat, jenderal atau cuma staf PUAN yang suka menginap di kantor. Singkatnya, cara Gus Dur ngomel pun sangat demokratis!

Setelah beristirahat, Gus Dur dan rombongan joggingnya ditambah orang-orang yang datang belakang, ramai-ramai kongkow di teras mesjid al-Munawaroh, ngobrol ngalor ngidul, bercanda, sambil sarapan yang dipesan dari pedagang keliling. Gus Dur seperti bukan presiden atau mantan presiden, apalagi raja yang selalu sibuk menjaga citra dan wibawa! Siapa saja yang ingin bertemu Gus Dur tinggal datang ke Ciganjur, tanpa bikin janji apapun, tanpa protokoler apapun, bahkan saat Gus Dur sedang sakit sekalipun (paling-paling Ibu Sinta yang suka marah, karena tidak ingin Gus Dur tambah terganggu kesehatannya). Egalitarianisme Gus Dur begitu kelihatan dalam kesehariannya. Saya merasa sangat beruntung bisa menyaksikan kejadian-kejadian seperti itu….kejadian-kejadian seorang presiden, seseorang yang pernah menjadi presiden atau raja jika Indonesia ini sebuah kerajaan, tetapi bersikap seperti orang biasa, orang kebanyakan.

Saya beberapa kali berkesempatan mendengar secara langsung “ceramah” atau taushiyah Gus Dur, khususnya saat Gus Dur menghadiri acara PUAN, atau beberapa acara di rumah keluarga. Gus Dur banyak cerita soal kehidupan pesantren, NU, dan para kyai. Di awal-awal lengser, Gus Dur juga cerita soal kondisi politik itu. Satu poin yang begitu membekas pada diri saya, Gus Dur sering sekali mengatakan, kita boleh saja untuk marah, bahkan marah habis-habisan, tapi, kita tidak boleh benci, apalagi dendam. Gus Dur tidak sekedar omdo; ucapannya diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Gus Dur rela pada akhirnya –setelah marahnya reda—untuk silaturrahim ke rumah Megawati. Seandainya prinsip luhur “boleh marah, tapi tak boleh benci apalagi dendam” ini, sebuah prinsip anti kekerasan yang sangat kuat, menjadi bagian dari budaya politik bangsa ini, juga menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita secara luas, kondisi politik dan kehidupan lain dalam masyarakat kita, insya Allah akan lebih baik, lebih banyak diisi sikap-sikap saling menghargai yang anti kekerasan. Di saat perbedaan menjadi keniscayaan, sikap saling menghargai dan mengedepankan toleransi dan anti kekerasan menjadi satu-satunya kunci mewujdukan Indonesia yang damai.

Orang-orang banyak mengingat gaya humorisnya, termasuk saat jadi presiden. Setelah melihat langsung “keseharian” Gus Dur yang santai, yang sangat biasa, saya jadi lebih sadar hubungan sikap humoris dengan sikap tak membenci apalagi dendam, sikap anti kekerasan itu. Apakah mungkin, sikap humoris, banyak tertawa, bisa tumbuh pada orang-orang dengan sikap pembenci dan pendendam?

Tentu saja, kita masih harus bekerja keras menyebarkan pandangan anti kekerasan itu. Saya yang begitu menghormati Gus Dur karena sikap dan suri tauladannya tidak bisa memaksa semua orang bersedih dan menitikkan air mata atas kematiannya. Tapi, saya sungguh marah –dan alhamdulillah saya berusaha tidak benci—pada sekelompok orang yang tega membuat komentar-komentar yang mengatasnamakan Tuhan untuk menebar kebencian terhadap Gus Dur, juga nilai-nilai kemanusiaannya.

Saya sempat diminta berkomentar oleh beberapa teman perihal sikap Gus Dur yang terlihat suka membuka front atau membuka ruang konflik, seperti kasat mata ditemui di PKB. Komentar saya, selain sebagai pelajaran politik tentang sikap tidak tergantung, yang paling penting, sikap Gus Dur itu sangat penting untuk menumbuhkan budaya politik kritis, budaya politik berani pada “atasan” atau bahkan pada orang-orang yang disucikan. Gus Dur seperti wali atau dewa bagi banyak orang kecil di NU. Tapi, Gus Dur rela “mengorbankan” diri untuk diserang oleh “anak buah” politiknya. Gus Dur membiarkan anak buah yang reputasinya jauh dari dirinya berani “menantang balik.” Lalu, pelan-pelan budaya politik yes man, asal bapak senang, bahkan cenderung fanatik dan kultus mulai luntur. Gus Dur menjadi guru dengan caranya yang penuh kerelaan untuk berkorban agar “murid-muridnya” lebih berani, lebih kritis, lebih rasional dan meninggalkan fanitisme apalagi kultusme. Bahkan, terhadap orang lain yang dianggap “besar, agung, atau suci,” masyarakat kita mulai berani berkomentar, bersikap kritis dan “marah.”

Gus Dur, orang besar yang tetap bersikap sederhana, seperti orang-orang kecil
Gus Dur, orang agung yang tidak tak tersentuh orang-orang kecil yang disayanginya
Gus Dur, membuat banyak orang kecil merasa punya kebesaran, keagungan jiwa

Gus Dur, memang bukan tidak tergantikan
Kesederhanaan cara hidupmu sudah terlanjur menjadi inspirasi
Juga sikap egalitarianmu, sudah terlanjur terwarisi
Prinsip anti kekerasan, bersikap toleran pada perbedaan sudah terlanjur terinternalisasi

Gus Dur, silahkan beristirahat dengan tenang, meski saya berduka tak terperikan
dan sudah rindu melihatmu ber-jogging lalu duduk santai di beranda mesjid

Percayakan pada kami untuk melanjutkan cita-cita dan misimu
Menghadirkan segala sikap dan prinsip toleransi dan anti kekerasan
Di Bumi Pertiwi

http://faridmuttaqin.multiply.com/journal/item/70/Mencintai_Gus_Dur_dari_Berbagai_Arah

1 Komentar (+add yours?)

  1. Santri
    Jun 05, 2014 @ 03:24:08

    Melawan Lupa

Tinggalkan komentar