Ramalan Politik Profesor dari Hawaii


CATATAN AS HIKAM
Ramalan Politik Profesor dari Hawaii


PROF. HENNINGSEN/UHM

DALAM acara di TV One (4/1/2010), saya ditanya oleh host apakah para tokoh pendukung Forum Demokrasi (Fordem) telah memperkirakan bahwa GD akan menjadi Presiden RI pada waktu gerakan tersebut didirikan dan berkiprah?

Saya hanya bisa menjawab secara umum bahwa pada hakekatnya semua yang berada dalam Fordem menganggap GD adalah tokoh paling pantas untuk memimpin sebuah Indonesia yang demokratis, melindungi HAM warganegaranya, dan mengupayakan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Saya tidak mengatakan sebagai Presiden per-se, tetapi sebagai pemimpin karena tentu posisi Presiden buat GD waktu itu (1994/5) masih jauh dari perkiraan sebagaian tokoh Fordem.

Tetapi, sebenarnya kalau soal memperkirakan GD akan tampil sebagai Presiden pada tahun 1994 itu, saya justru mendengar sendiri bersama GD dari mulut salah satu Professor saya di Universitas Hawaii, yaitu Professor Manfred Henningsen.

Manfred, begitu panggilan akrab beliau dari para mahasiswanya termasuk saya, tentu sangat jauh dari berkepentingan dengan GD sebagai Presiden RI. Bukan saja beliau baru bertemu seumur-umur pada malam itu, bidang yang digeluti beliau secara akademis juga tidak ada urusannya dengan politik Indonesia. Beliau adalah pakar filsafat politik Barat, khususnya tentang politik eksterminasi, gerakan pro demokrasi, dan filsafat politik Yunani.

Namun demikian, tahun-tahun awal 1990an adalah musimnya gerakan pro demokrasi yang diawali dengan runtuhnya tembok Berlin 1989 dan maraknya gerakan civil society di Eropa Timur, Asia, dan Amerika Latin. Karena saya adalah salah satu mahasiswa beliau yang sangat getol mengkaji masalah civil society dan gerakan pro demokrasi di Indonesia, mau tidak mau beliau juga mengikuti perkembangan yang terjadi di negeri kita.

Apalagi beliau adalah ketua komisi dissertasi saya, di samping ketua grup diskusi di mana saya jadi anggotanya. Tak pelak, Prof. Henningsen hampir tiap hari mendengar omongan dan atau kabar tentang Indonesia yang saat itu juga sedang mulai bergejolak dengan wacana dan gerakan-gerakan mendobrak rezim Orde Baru. Nama tokoh seperti GD tentu juga beliau tahu, sama dengan nama Kim De Yung, Lech Walesa, dan Vaclav Havel (dengan yang disebut terakhir ini, Prof. Henningsen kenal secara pribadi).

Dari informasi yang diperoleh dari saya dan media massa, Professor asal Jerman ini menyimpulkan bahwa GD memiliki kemiripan yang sangat banyak dengan Vaclav Havel (belakangan GD memang akrab juga dengan Presiden Ceko tersebut). Bagi Manfred, Havel dan GD adalah saudara seperjuangan dalam menegakkan demokrasi melalui advokasi HAM dan pluralisme serta pemberdayaan civil society.

Dan saya juga ikut percaya karena bacaan saya terhadap karya-karya Havel dan tokoh-tokoh prodemokrasi di Cekoslowakia, Polandia, Rumania, dll. memang seperti itu. Bukan kebetulan, bahkan, kalau statemen Fordem yang dibacakan pada launchingnya di Megamendung, memuat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Forum 77 (Forum yang didirikan oleh Havel, dkk).

Juga bukan kebetulan kalau GD mempopulerkan istilah yang dilontarkan oleh Havel dkk tentang upaya rezim Totaliter yang mencoba melakukan perubahan dengan nama “demokrasi seolah-olah’ ( an “as if democracy”).

Tapi saya sangat terkejut ketika malam itu, di sebuah restoran Vietnam sederhana, Prof Henningsen bilang pada Gus Dur, yang duduk persis di depannya sambil minum kopi Vietnam: “Mr. Wahid, you will be the President of your country.” (Pak Wahid, sampeyan akan jadi presiden negara sampeyan).

Di sebelah Manfred ada Neil Abercrombie, sohib kentalnya (sekarang beliau anggota Congress AS mewakili negara bagian Hawaii dari Partai Demokrat). Neil, begitu panggilannya, mengangguk setuju karena telah mengenal kiprah GD dari saya dan Manfred juga. Waktu itu Neil masih sebagai aktifis politik di Hawaii dan baru beberapa tahun lulus dari Universitas Hawaii, PhD dalam ilmu politik.

Reaksi saya dan GD hampir sama seingat saya, yaitu tertawa terbahak-bahak. GD lalu mengatakan terimakasih atas komplimen Manfred, dan minta dukungannya semoga perjuangan demokratisasi di Indonesia terus berjalan. Saya sendiri bilang “Manfred, you must be joking. Suharto and the generals are still quite strong.” (Manfred, sampeyan pasti becanda aja, wong Pak Harto dan para Jenderal sangat kuat).

Tapi apa kata Prof. Henningsen menjawab saya?

“No, no, no. Mohammed. I couldn’t be more serious than that.” Kata beliau sambil memandang saya. “You just wait and see. It happens everywhere.” (Tidak, tidak, tidak, Muhammad. Saya tidak bisa lebih serius dari itu. Kau tunggu dan lihat saja. Ini terjadi dimana-mana kok).

Neil juga menambahi: “Yes, Mohammed, why not. We’re not a bunch of clairvoyances, here. It’s a trend in the world over.” (Ya, Muhammad, kenapa tidak? Kan kita-kita ini bukan segerombolan cenayang. Itu kan kecenderungan di seluruh dunia).

Tentu saja saya hanya menganggap prediksi Prof Henningsen sebagai analisa, sementara itu GD sendiri juga diam saja ida pernah mengulang-ulang ucapan tersebut setahu saya. Sampai saya selesai sekolah di Hawaii (1995), saya sering berdebat dengan Professor Henningsen tentang GD dan kariernya, karena beliau selalu bertahan dengan apa yang diucapkannya di resto Vietnam malam itu.

Saya sendiri tetap tidak yakin karena konstelasi perpolitikan Indonesia yang sangat kompleks dan Manfred (yang bukan ahli Indonesia) jelas tidak paham. Makanya ketika GD benar-benar terpilih jadi Presiden pada 1999, saya langsung ingat percakapan di restoran Vietnam pada sebuah malam di musim panas 1994 itu.

Saat saya ingatkan, GD cuma menjawab: “Iya, ya, Kang… Inget saya, hebat profesor sampeyan itu.”

Apakah itu sebuah ramalan atau permonisi Manfred? Entahlah. Yang pasti saya menjadi saksi bahwa ada seorang akademisi yang sangat rasional dan tak memiliki kepentingan apapun, kecuali ingin melihat demokrasi berkembang di negeri kita, ternyata memiliki pandangan yang begitu tepat terhadap GD 5 tahun sebelum beliau jadi Presiden dan ngotot dengan prediksinya!

(Sayang sekali, rencana GD dan saya untuk mengundang Prof. Henningsen untuk berceramah di Jakarta mengenai demokrasi dan civil society tetap tinggal rencana sampai GD lengser. Tapi sang Professor tetap telaten mengikuti perkembangan salah satu mahasiswanya di Indonesia sampai kini…)

Ketika saya diangkat sebagai Menteri di Kabinet GD, saya pun sempat menelepon Manfred dan minta pendapatnya. Saya minta pertimbangan apakah saya harus meninggalkan karier sebagai ilmuwan di LIPI dan menerjuni politik masuk Kabinet GD.

Beliau mengatakan “you take it, because you are now in the middle of a very interesting and crucial time in the hstory of your country” (ambil saja tawaran GD, karena kamu sekarang sedang berada di tengah-tengah saat yang paling penting dan menarik dalam sejarah negerimu).

Menyesalkah saya meninggalkan kesenyapan dan kedamaian menara gading dan berganti bergelimang dengan kebisingan dan kebalauan politik?

Saya hanya ingat kata GD mengutip JFK bahwa tidak ada kiprah di dunia yang lebih mulia dibanding kiprah dalam politik, karena hasilnya akan dikenang dan dinikmati oleh banyak sekali orang dan menembus ruang dan waktu.

Tentu saja kiprah politik di sini adalah kprah politik sebagaimana dijalankan secara konsisten oleh GD: politik untuk rakyat, dan politik yang berlandaskan ahlaq. []

Sumber :
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/10/86158/CATATAN-AS-HIKAM-Ramalan-Politik-Profesor-dari-Hawaii

Tinggalkan komentar