Presiden Wahid Tidak Berhak Campuri Agenda Sidang Istimewa


Presiden Wahid Tidak Berhak Campuri Agenda Sidang Istimewa
29-6-2001 / 14:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden Abdurrahman Wahid tidak berhak mencampuri agenda Sidang Istimewa mendatang. Karena konstitusi tidak mengatur wewenang semacam itu. Hal itu ditegaskan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Suwoto Mulyosudarmo, kepada wartawan di sela-sela Seminar “Kekerasan dalam Peta Politik Indonesia Hari ini” di Unika Atmajaya, Jakarta, Rabu (27/6) siang.

“Saya kira intervensi itu terlalu jauh dan tidak pada tempatnya,” kritiknya. Seperti yang telah diberitakan, Presiden Wahid mengajukan beberapa opsi agenda Sidang Istimewa. Keempat opsi itu di antaranya, sidang tidak meminta pertanggungjawaban presiden, tidak menilai kinerja eksekutif, tidak mempermasalahkan hubungan legislatif, eksekutif dan yudikatif, serta tidak membahas hubungan presiden dengan wakil presiden.

Menurut Suwoto, keempat opsi itu diajukan Presiden semata-mata untuk melanggengkan kekuasaannya. Niat itu, lanjutnya, ditunjukkan pula melalui lobi politik melalui para menterinya. “Padahal Sidang Istimewa itu sendiri merupakan agenda lanjutan dari Memorandum II DPR terhadap Presiden,” kata Guru Besar Unair ini.

Kendati demikian, ia tidak berpendapat bahwa opsi itu harus ditolak MPR, walaupun intervensi semacam itu tidak dikenal sistem ketatanegaraan Indonesia. “Kalau MPR mau menerimanya sebagai suatu masukan, ya, silakan saja. Tapi kalau itu merupakan ancaman secara simbolik untuk memaksakan kehendak, saya kira itu tidak dibenarkan secara hukum,” ujarnya mengingatkan.

Karena itu, Suwoto menilai, Presiden Wahid tetap berkewajiban hadir dalam Sidang Istimewa untuk memberikan pertanggungjawaban. Hal ini sesuai dengan Tap MPR Nomor III/MPR/1978, yang mengatur bahwa pertanggungjawaban Presiden disampaikan pada Sidang Umum (akhir masa jabatannya) maupun saat Sidang Istimewa. “Tapi MPR juga harus fair. Sidang Istimewa adalah sidang meminta pertanggungjawaban Presiden, berkaitan dengan Tap XI/MPR/Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dari KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme-red),” tegasnya.

Suwoto berpendapat bahwa ada kemungkinan pertanggungjawaban itu diterima, meskipun kesempatan itu tipis. “MPR bisa saja mengangkat Presiden kembali, dan memberikan catatan-catatan khusus untuk kinerjanya ke depan,” ujarnya. Tapi jika pertanggungjawaban ditolak, kata dia lagi, otomatis wapres akan diangkat untuk menggantikan Presiden. (dara meutia uning)

Tinggalkan komentar